Rabu, 12 April 2017

HUKUM YANG DIRIDHAI DI SISI ALLAH HANYALAH HUKUM ISLAM .


Tidak sedikit yang beranggapan bahwa manusia berhak mengatur negara yang ditinggalinya dengan sekehendaknya. Seolah negeri yang ditinggali itu milik mereka. Padahal, negeri yang mereka tinggali adalah bagian dari bumi milik Allah. Bahkan, bukan hanya bumi, langit dan seluruh jagad raya ini adalah kerajaan milik Allah. Dialah Raja dan Pemiliknya sehingga seluruh isinya wajib tunduk dan patuh kepada-Nya. Dan Allah telah menurunkan hukum (Al-Quran dan Sunnah) yang wajib ditaati seluruh manusia. Firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
Yang milik-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS. Al-Furqan [25]: 2)
Dalam ayat ini disebutkan dua kata yang menunjukkan dengan jelas bahwa pemilik otoritas mutlak di jagad raya ini adalah Allah, yakni kata lahu(milik-Nya) dan al-mulku (kerajaan). Maka ayat ini memberitakan bahwa apa yang ada di langit dan bumi adalah milik-Nya, juga kerajaan keduanya adalah kerajaan-Nya. Dengan demikian, berkumpul pada-Nya dua hal, yakni: kepemilikan dan kerajaan. Oleh karena kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah, maka yang diberlakukan di dalamnya adalah keputusan dan hukum-Nya, yaitu hukum Allah sebagai hukum yang mengatur bukan yang diatur, hukum yang menentukan bukan yang ditentukan, hukum yang memerintah bukan yang diperintah.
Berkenaan dengan hukum Allah tersebut, perlu diingat bahwa Al-Quran menyebut kata dien (dan beberapa perubahannya) lebih dari 90 kali, yang digunakan dengan beberapa pengertian:
1~ Hukum/undang-undang/peraturan, dalam QS. 12:76. Dalam ayat itu disebut “diinil maliki” yang artinya hukum/undang-undang/peraturan raja. Lihat juga QS. 5:3, 24:2, 42:13, dll.
2~ Sistem/jalan hidup, dalam QS. 40:26. Dalam ayat itu dien diartikan sistem/jalan hidup.
3~ Kekuasaan, dalam QS. 56:86. Dalam ayat itu disebut “madiiniin” yang artinya kekuasaan.
4~ Ketaatan/ketundukan, dalam QS. 40:65. Dalam ayat itu dien diartikan ketaatan/ketundukan.
5~ Pembalasan/penghakiman, dalam QS. 1:4. Dalam ayat itu dien diartikan pembalasan/penghakiman.
Setelah memahami beberapa pengertian dien tersebut, khususnya pengertian pada butir 1 dan 2, maka tidak tepat apabila dien diartikan sebagai agama (a = tidak, gama = kacau), sebab istilah agama (religion, religie) hanyalah merupakan alih bahasa saja yang tidak mengandung makna substantif dan essensil. Lebih dari itu apabila dien diartikan sebagai agama maka maknanya menjadi sempit karena mayoritas manusiamembatasi maknanya hanya sebatas kepercayaan dan ritual-ritual penyembahan kepada tuhan (paham sekulerisme). Di Indonesia misalnya, agama yang diakui hanya ada enam, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kunghuchu padahal di Indonesia terdapat ratusan bahkan mungkin ribuan dien (hukum maupun sistem hidup seperti demokrasi, nasionalisme, kapitalisme, dll). Oleh karena itu, pengertian dien yang tepat dalam ayat-ayat berikut ini adalah sistem hidup (bukan agama), dan pengertian yang paling tepat adalah peraturan/hukum, yaitu peraturan/hukum yang tidak hanya mengatur aspek ritual penyembahan saja, tetapi semua aspek kehidupan mulai dari bangun tidur hingga bangun tidur lagi, mulai dari masuk WC sampai masuk istana: 
Sesungguhnya dien (peraturan/hukum) di sisi Allah hanyalah (dien) Islam (penyerahan diri). Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. Kemudian jika mereka mendebat kamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: 'Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku'. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: 'Apakah kamu (mau) masuk Islam'. Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imran [3]: 19-20)
Maka apakah mereka mencari selain dien (peraturan/hukum) Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. Katakanlah: 'Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya´qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah kami menyerahkan diri'. Barangsiapa mencari selain dien (peraturan/hukum) Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (dien itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran [3]: 83-85)
Oleh karena dien (peraturan/hukum) yang diridhai di sisi Allah hanyalah dien (peraturan/hukum) Islam, maka tidak perlu heran dan tidak perlu mencari takwil macam-macam jika Allah memvonis kafir, zalim, dan fasik kepada siapa saja (presiden, ketua adat, hakim, jaksa, penyidik, dll) yang tidak berhukum dengan hukum yang Allah turunkan, sebagaimana firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. Al-Maidah [5]: 44)
...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim (musyrik). (QS. Al-Maidah [5]: 45)
...Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS. Al-Maidah [5]: 47)
Baik orang kafir, zalim, maupun fasik tempatnya di dalam neraka jahannam. Namun, sebagian ulama mentakwil dan membagi vonis tersebut menjadi kafir/zalim/fasik akbar (murtad) dan kafir/zalim/fasik asghar (tidak murtad). Meskipun status yang disandang adalah kafir/zalim/fasik asghar (tidak murtad), tetap saja hal itu adalah perbuatan dosa besar yang jika dilakukan secara terus-menerus akan menyebabkan pelakunyamasuk ke dalam neraka jahannam juga. Adapun penguasa (pemerintah, DPR, kepala suku, dll) yang menetapkan hukum/undang-undang selain syariat Allah untuk hamba-hamba-Nya dan mewajibkan mereka berhukum dengannya, maka tidak diragukan lagi, penguasa tersebut telah keluar dari Islam (murtad) karena telah berbuat syirik akbar dengan menjadikan dirinya sebagai sekutu bagi Allah dalam menetapkan hukum/undang-undang, berdasarkan firman-Nya Subhanahu Wa Ta'ala:
Apakah mereka mempunyai syuraka (sekutu-sekutu) yang mensyariatkan untuk mereka dien (peraturan/undang-undang) yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim (musyrik) itu akan memperoleh azab yang amat pedih. (QS. Asy-Syura [42]: 21)


EmoticonEmoticon